Dangdut, sepi apresiasi

Jujur saja, saya kurang menikmati musik bergenre dangdut. Entah, ngga banyak musik
dangdut yang saya sukai.Ini bukan karena selama ini dangdut dipandang sebelah mata.
Katanya , dangdutitu musik kampungan, tidak berkelas, selera rendah. Bukan, bukan itu.
Aku tidak memandang musik dangdut seperti di atas. Ini soal selera. Toh ada beberapa
musik dangdut yang sangat indah di dengar. Jika mau sedikit meluangkan waktu, setiap
dentingan irama , benar-benar permainan musik yang indah.
Kancah musik dangdut mulai diperhitungkan. Terbukti bahwa beberapa acara mengangkat
musik dangut, seperti ajang pencarian bakat yang special untuk musik dangdut. Malah, bisa terbalik, orang-orang mulai menggemari musik dangdut, seperti akan terbalik semuanya,
orang-orang mulai menyukai yang kampung atau kampungan. Spot-spot bernuansa
kampung aja mulai dilirik. Musik-musik jadul mulai digemari dengan mengcover melalui
sentuhan musik yang bisa diterima, namun tidak menghilangkan nilai keasliannya. Dangdut dengan musik yang semarak, namun sepi apresiasi.
Namun sedikit demi sedikit, musik dangdut mulai punya tempat. Bukan sebagai musik
pinggiran, namun musik yang digemari, di seluruh kalangan. Seni musik, termasuk dangdut
adalah jiwa dari manusia, karena pada dasarnya manusia mpunyai rasa keindahan. Seni itu
indah, putih, suci, tanpa noda. Hanya manusia yang suka menodainya.

“Seni memang bagai sebersit kabut yang bisa ditata menjadi suatu gambaran” (Khalil Gibran)

“Seni musik mempunyai kemampuan mendamaikan hati yang gundah,
mempunyai terapi rekreatif dan menumbuhkan jiwa
patriotisme” (Aristoteles)

Bagiku, musik itu yang penting bisa menyentuh emosi pendengarnya, penikmatnya.
Menciptakan kegairahan, hingga seolah menyihir dalam suatu kondisi psikologis yang
telanjang. Kita yang mengaku orang modern, memuja semesta dengan simbolisme
modernitas, gaya hidup begitu dikultuskan dan dipuja. Tidak sadar bahwa kita mulai
kehilangan rumah secara metafisik. Akar budaya telah direnggut dari kepekaan yang
berada dalam ruang batin manusia modern. Budaya tradisional mulai redup.
Dangdut adalah identitas musik dari Indonesia. Itu tak bisa dipungkiri. Banyak penulis
dari luar yang justru sangat mengapresiasi musik dangdut. Kita sendiri, pemilik musik
bergenre dangdut malah tak jarang mengakui dengan jujur. Seperti tidak menjadi diri
sendiri. Kita, dengan menunjukkan musik yang kita dengarkan atau nyanyikan, seperti
menjadi apa yang dicitrakan oleh media sebagai lapis atas, keren, berkelas atau apalah
sebutannya. Pencitraan? Iya kali hehehe...
Saya mulai menyimak lagu-lagu dangdut, tapi kembali ke awal tulisan, jujur, tidak banyak
yang bisa saya nikmati. Saya sudah berkata jujur di sini. Bukan pencitraan, tapi ini selera.
Wong saya ini mau menyanyikan lagu apa saja, ya tetep saja ndeso, wajah juga ndeso,
ngga bisa dipermak, apalagi main face app, halah...ngga merubah kenyataan haha.., ngga
penting mempersoalkan ndeso atau tidak, dengan melihat melalui musik yang kita sukai.
Ndeso atau kampungan itu kan sebenarnya justru merupakan gambaran tentang
subkultur dari mana kita berasal. Kampungan adalah suatu konsep di mana seluruh
warga memiliki solidaritas yang tinggi serta saling memiliki. Gambaran masyarakat yang
sehat, di mana masing-masing saling mengenal. Untuk itu jangan malu disebut
kampungan. Artinya jangan malu menyanyi lagu dangdut haha.....(cari dukungan)..
Sebagai sebuah musik hiburan, dangdut mampu hadir dan menjadi penghibur dalam
kesedihan maupun kesulitan, apakah itu soal percintaan,kegelisahan, kesedihan, dan
masalah kehidupan lain yang dialami manusia.
Jika kita bicara soal musik, ini bukan sekedar bicara mengenai alunan musiknya maupun
liriknya, tapi lebih dari itu adalah mengenai selera individu. ketika membicarakan selera ,
tentu saja ini bersifat universal dan relatif. Yang penting tujuan mendengarkan musik itu
tercapai. Nah...sekarang terserah anda semua, anda punya hak menjustifikasi bahwa jenis
musik dangdut itu kampungan atau tidak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tahun 80-an (anak-anak Jogja).

Pagi Dan Secangkir Kopi

Randoseru, ransel sekolah di Jepan