Guru Private
Aku sedang mengajar matematika di ruang belajar Dodi . Sebuah ruang yang terletak di depan kamar anaknya mas Heru. Mas Heru adalah ayahnya Dodi, anak satu-satunya yang masih berumur 9 tahun. Istri mas Heru kebetulan satu profesi denganku yaitu guru, Namanya Nani. Kami mengajar di salah satu sekolah menengah atas.
“Sampai minggu depan ya Dodi, hari ini sudah cukup!”
“PR-nya akan Dodi kerjakan besok ya bu Lastri!” Dodi mencium tanganku sebelum aku keluar rumah.”
“Mas Heru, Mba Nani, aku pualng dulu ya, sampai minggu depan!”
Nani dan mas Heru sepakat memanggil aku untuk memberi les private matematika untuk Dodi. Anak ini cerdas di matematika, maka ayah ibunya sepakat untuk memberikan pembekalan yang lebih di pelajaran matematika.
Tapi aku merasa terganggu sekali dengan pesan-pesan khusus yang dikirim oleh mas Heru kepadaku. Hampir setiap saat mas Heru mengirim pesan kepadaku, tentu saja tanpa sepengetahuan Nani. Ya, aku memang belum bersuami hingga usiaku menginjak kepala 3. Entah, aku tak merisaukan hal itu. Banyak hal bisa kulakukan untuk sekedar memikirkan jodoh. Bahkan aku berniat untuk tidak menikah. Hidupku baik-baik saja.
Mas Heru semakin intens mengirim pesan ke hpku. Aku mulai risih dan tidak nyaman sama sekali. Dia juga suami dari temanku sendiri. Sering sekali pesan-pesannya aku abaikan. Tak pernah aku balas. Tetapi pak Heru tetap saja tidak berhenti mengirim pesan.
“Aku mengerti perasaanmu Lastri,tapi bekerjalah secara profesional!”
Sore itu mas Heru sengaja memintaku untuk bicara. Sambil minum kopi di sebuah tempat, aku memenuhi permintaannya walaupun berat hati. Ini perihal pengunduran diri aku untuk tidak lagi mengajar les untuk Dodi.
Aku tertegun memandangnya. Mata tajam itu menusuk dada, membawaku pada kenangan yang pernah terkubur lama.
"Maaf
mas, aku tak bisa lagi melanjutkan memberi les untuk Dodi, sebaiknya mas Heru
cari guru lain saja!."
"Mengapa?"
"Karena
banyak alasan mas, mas pasti tau."
"Apa
hubungannya?"
"Kita
pernah punya masa lalu, aku tidak nyaman." Aku tidak suka mas Heru selalu
mengirim pesan-pesan special untukku. Bagaimana kalau istrimu tau?”
Ia menatapku
lama, kemudian menundukkan kepala. Mungkin sedang memikirkan sesuatu untuk
menahanku tetap mengajar Dodi.
"Lastri,
jika aku memilihmu untuk menjadi guru privat anakku, itu karena ada
pertimbangan khusus yang membuatku melakukannnya."
"Karena
aku mantan pacarmu?"
"Bukan.
Karena kau guru yang memiliki dedikasi sangat baik, aku tau semuanya karena
selain istriku adalah temanmu, juga beberapa guru di sana adalah temanku"
Mereka banyak cerita tentang kamu, itu saja kok. Kamu jangan selalu
berprasangka. Abaikan saja apa yang telah aku lakukan selama ini. Aku mengerti.
"Jadi
lupakan saja apa yang pernah terjadi di antara kita?" tanyaku dengan
kesal.
Ia
kembali diam dan menunduk.Sambi sesekali menyeruput kopinya yang telah dingin,
kadang ia mencuri pandang ke arahku.
“Bagaimana
Lastri, masih mau kan mengajar privat untuk Dodi?”
Teh
hangat yang baru saja aku pesan itu terasa
melegakan kerongkonganku. Aku tetap dengan pendirianku bahwa aku tak mau
memberi les privat untuk Dodi. Sebenarnya berat mengambil keputusan ini,
mengingat Dodi sudah sangat akrab denganku. Dodi mau les privat jika aku yang
meberi les untuknya. Berat sekali memutuskan ini. Tapi apa boleh buat, jika aku
melanjutkan, maka getaran-getaran yang pernah ada untuk mas Heru akan muncul
lagi. Aku tidak mau hal itu terjadi. Aku tidak mau nantinya Nani tau.
"Bagaimana,
Lastri? Kau mau kan meneruskan memberi les privat untuk Dodi?"
Aku
menggeleng. Aku harus tetap dengan pendirianku.
"Kau
seorang guru, Lastri. Mestinya kau bisa bersikap profesional, mengabaikan
perasaan pribadi saat kau harus mentransfer ilmu. Kepada siapa pun itu."
"Maafkan
aku mas Heru, aku ngga bisa." Aku menunduk.
Untuk
menenangkan ahtiku, aku kembali meminum teh yang mulai dingin.
"Aku
mohon Lastri, kau mau merubah keputusanmu itu." Dodi juga sudah senang
denganmu. Jangan pikirkan kelakuanku selama ini, lupakan saja, demi Dodi. Aku
tau aku salah.”
"Mengapa
kau memaksaku? Tak bisakah kau mencari guru lain, mas?"
"Tidak,
Lastri. Aku hanya ingin kau yang mengajar privat anakku."
“Mengapa
mas Heru tak libatkan Mba Nani untuk
mengajari Dodi? Mengapa harus aku?"
Ia
menatapku lama. Mas Heru mencoba meraih tanganku, tapi aku menarik tanganku,
aku tak mau mas Heru leluasa kembali melepaskan perasaan yang dulu pernah ada
untukku. Walau aku tau bahwa selama ini mas Heru masih menyimpan rasa itu
untukku.
"Istriku...
istriku itu tidak sabar Lastri, bahkan dia sibuk dengan dunianya sendiri."
Aku bahkan sudah capek untuk berkonflik dengan nani.”
Aku
tertegun mendengar apa yang dikatakan mas Heru tentang Nani. Memang selama aku
bekerja di sekolah yang sama, Nani tak pernah cerita apapun tentang kelaurga.
Dia masih seperti saat aku mengenalnya di kampus. Nani memang cantik, modis,
sebagai guru bahasa Inggris, Nani sangat disukai anak didiknya karena memang
sebagai guru yang sangat menyenangkan, cara mengajarnya pás dengan keinginan
anak-anak. Sangat ramah. Mudah akrab, sehingga anak-anak leluasa ngobrol
dengannya .
"Maksudmu?"
“Entahlah
Lastri, hubunganku dengan nani sudah lama tidak harmonis, kami saling cuek dan
jarang sekali komunikasi yang semestinya sebagai suami istri.”
Dengan
semua yang aku dengar ini, aku semakin yakin dengan keputusanku. Aku tidak akan
menjadi orang yang masuk ke dalam rumah tangga mas Heru di saat situasi tidak
harmonis. Aku harus membuang jauh-jauh perasaanku terhadap mas Heru.
Ingatanku
pada masa lalu bersamanya kembali berputar di kepalaku. Yah, bagaimanapun aku
pernah bersamanya. Bahkan aku hampir menikah dengannya. Hingga suatu saat,
ketika aku pulang dari luar kota, aku ingin menemui mas Heru di rumahnya.
Tetapi betapa aku kaget melihat nani berada di rumah mas Heru. Nani begitu
mesra menggenggam jemari mas Heru, demikian pula mas Heru. Bahkan orang tua mas
Heru tampak senang mengobrol dengan Nani.
Begitu
mas Heru tau akan kedatanganku, ia sangat kaget dan kulihat wajahnya mendadak
pucat. Ia memanggilku dan setengah berlari menahanku untuk tidak pulang. Ia
memintaku untuk masuk dan ingin bicara denganku.
“Kita
ketemu besok mas, kita akan selesaikan semuanya!”
Aku
tak bisa menahan tangis melihat apa yang terjadi di depanku, di rumah mas Heru.
“Lastri!”
Aku
tersentak mendengar panggilan mas Heru. Ternyata aku sedang melamun ke dalam
lorong waktu yang telah kulalui bersama mas Heru. Entah mengapa, kekerasan
hatiku mulai melembut sesudahnya...
Tiba-tiba
tangan mas Heru menarikku. Aku tak sempat lagi menghindar. Semuanya begitu
cepat.Dadaku seketika berdesir saat kutatap sosok yang tiba-tiba telah berada
di dekatku.
"Lastri,
apakah kamu sudah tidak punya perasaan apa-apa lagi kepadaku?" Sama sekali
tak ada?”
"Apakah
aku sudah tidak ada lagi kesempatan untuk menakhlukan hatimu seperti dulu?"
Aku
menoleh dan memandangnya. Ia tak berkedip menatapku.Tangannya masih memegang
tanganku erat. Ia tak mau sedikitpun melonggarkan genggamannya. Aku benar-benar
tidak nyaman, tetapi aku juga merindukan rasa yang pernah ada waktu itu.
"Lastri!",
aku mengelak saat wajahnya mendekatiku.”
“Mas,
sebaiknya kita pulang saja!”
"Tidak,
aku masih ingin bersamamu.”
“Tadi
kita sepakat untuk membicarakan keputusanku dan Dodi mas, bukan urusan tentang
kita berdua!”
Aku
kembali mengelak saat tangannya berusaha memelukku.
"Aku
masih mencintaimu, Lastri"
"Tidak
mas Heru, apa mas ngga ingat dulu ketika memutuskan untuk menikahi Nani?"
Kau mengkhianatiku mas, kau bersama Nani ketika aku dinas di luar kota!”
"Lupakan
itu Lastri, aku tak bisa melupakanmu!"
Mas
Heru berhasil menarikku dan memelukku.
Bibirnya hanya beberapa inci dengan bibirku. Sekali lagi aku tak bisa
menghindar. Jujur aku rindu dengan pria di depanku ini.
"Aku
ingin kita bersama lagi, Lastri.”
Ini
sebuah pertentangan batin, antara suka dan tidak, antara mau dan tidak, antara
cinta dan tidak. Entah berada di mana aku tak tahu, apakah aku pada posisi
suka, mau, cinta atau tidak. Mengelak terhadap apa yang ia lakukan,
kenyataannya hatiku masih menyimpan sebongkah perasaan. Menerima apa yang ia
katakan, kenyataannya aku pernah menjadi sisi yang terabaikan.
"Lastri!"
Kali
ini aku menarik tanganku sekuatnya dan menjauh dari tubuhnya. Aku menahan dada
bidangnya, sekuat yang aku bisa. Ia tampak begitu kecewa. Aku tidak peduli. Aku
harus mengabaikan perasaanku sendiri.
"Kau
tak mencintaiku lagi?" tanyanya.
"Bukan
saat yang tepat untuk membicarakan soal itu," kataku. "Aku ke sini
karena permintaanmu untuk mengajari anakmu. Tak lebih dari itu!"
"Kau
masih seperti dulu, Lastri, kau keras kepala, dan susah diajak bicara.”
"Aku?”
Susah diajak bicara?”
Bukankah
kau justru yang mengkhianati cinta kita? Kau lelaki tak berperasaan, Mas.
Meninggalkan aku dan menikahi Nani, temanku sendiri, ketika aku sedang percaya
dengan janjimu untuk melamar aku!”
"Lupakan
itu Lastri aku khilaf. Beri aku kesempatan sekali lagi."
Ada
kemarahan yang meletup-letup di hatiku. Sungguh pria egois. Ia menginginaknku
kemblai dengannya setelah apa yang ia lakukan padaku. Dan saat itu aku seperti
ditampar oleh tangan Nani. Lalu ku ambil tasku dan aku berdiri. Aku sampaikan
kepad amas Heru bahwa aku harus segera pulang. Karena memang sudah terlalu
malam.
"Hari
sudah malam Lastri!”. Biarkan aku yang mengantarmu pulang."
"Tidak
mas, makasih aku biasa pulang sendiri!"
Ia
tetap memegang tanganku dengan kuat.Dan aku kembali menarik dari genggamannya.
"Aku
mengerti. Tapi jangan biarkan aku cemas melihatmu pergi sendiri. Aku akan
mengantarmu."
Pegangan
tangan lelaki gagah itu berangsur-angsur mengendur. Aku luluh oleh pandangan tajam
matanya.
“Tidak
apa mas, aku biasa sendiri ke mana-mana selama ini.”
Aku
segera memesan uber dan menunggu beberapa saat. Mas Heru masih menemaniku
smapai uber tiba. Wajahnya tampak sedih dan aku tau dia kecewa dengan
keputusanku untuk berhenti memberi les privat untuk anaknya.
Aku
tak mengajar lagi di sekolah yang sama dengan Nani. Permohonanku untuk mutasi
ke lain kota telah disetujui. Aku sekarang mengajar tempat yang jauh dari mas
Heru dan Nani. Aku dengar bahwa mas Heru dan Nani telah mempunyai anak kedua,
perempuan. Sudah hampir 5 tahun usianya. Aku bahagia mendengar kabar ini.
Semoga pernikahannya bahagia selamanya, tanpa bayang-bayangku di hati mas Heru.
Komentar
Posting Komentar